Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan.
Lantas apakah yang akan terjadi pada seekor ikan apabila dia dipisahkan
dari air?” (Lihat Al Wabil Ash Shayyib oleh Ibnul Qayyim)
Kaitan Syukur dengan Tauhid
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam mukadimah Al
Qawa’id Al Arba’, “Aku memohon kepada Allah yang Maha mulia Rabb pemilik
arsy yang agung, semoga Dia senantiasa menolongmu dalam kehidupan dunia
dan akhirat. Semoga Dia menjadikanmu senantiasa diberkahi di manapun
engkau berada dan menjadikanmu bersyukur apabila diberi karunia,
bersabar apabila mendapat coba, dan memohon ampun apabila terjatuh dalam
dosa, karena sesungguhnya ketiga hal itulah lambang kebahagiaan.”
Syaikh Shalih Alusy Syaikh mengatakan,”Syukur memiliki kaitan erat
dengan tauhid. Tatkala sang imam (Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab)
rahimahullah menyebutkan do’a untuk kita supaya bersyukur atas karunia,
bersabar atas musibah dan istighfar ketika berbuat dosa, seolah-olah
beliau sedang mengarahkan pandangan matanya kepada kondisi yang dialami
kaum yang bertauhid. Beliau berbicara dengan mereka tentang suatu
kewajiban yang harus senantiasa mereka tunaikan. Sebab seorang yang
telah bertauhid mendapatkan karunia yang sangat besar, tidak ada lagi
nikmat lain yang menandinginya. Nikmat itu adalah keberadaannya di atas
ajaran Islam yang lurus. Nikmat itulah yang membuatnya bisa tegak di
atas prinsip tauhid yang murni. Tauhid itulah yang menjadi sebab Allah
menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang
merealisasikannya.” (Syarh Qawa’id Arba’)
Syaikh Shalih melengkapi keterangannya, “Apabila berdosa maka diapun
beristighfar”. Dalam diri seorang muwahhid juga terdapat unsur
ketidaktaatan. Dia tidaklah terlepas dari perbuatan dosa, yang kecil
maupun yang besar. Sedangkan salah satu Asma’ Allah adalah Al Ghafuur
(Maha Pengampun) maka pengaruh hukum dari Asma itu pasti terwujud pada
alam serta kerajaan-Nya. Karena itulah Allah mencintai hamba-Nya yang
bertauhid lagi ikhlash untuk senantiasa meminta ampunan. Seorang
muwahhid pasti mengalami hal itu.”
“Apabila seorang hamba meninggalkan keagungan istighfar ini, niscaya
dia akan tertimpa kesombongan. Padahal kesombongan akan menghapuskan
banyak pahala amal perbuatan. Karena latar belakang itulah beliau
(Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) mengatakan di
sini,”Apabila berdosa maka diapun beristighfar. Karena sesungguhnya
ketiga hal itu adalah simbol kebahagiaan sejati”. Maka ini artinya hal
itu pasti terjadi terhadap setiap muwahhid. Hal itu mencakup bersyukur
ketika mendapat karunia, bersabar ketika tertimpa coba dan beristighfar
ketika berbuat dosa dan maksiat. Semakin besar pengenalan seorang hamba
terhadap Tuhannya niscaya ketiga hal inipun akan semakin kuat tertancap
di dalam jiwanya. Dan semakin besar ruang tauhid dalam hati seorang
hamba niscaya ketiga hal ini pun turut membesar. Dengan sikap demikian
niscaya akan melahirkan seorang hamba yang tidak lagi memandang selain
keridhaan Allah jalla wa ‘ala dalam melaksanakan amal maupun aktifitas
hidupnya, dia tidak mau mempersembahkan sedikitpun amalnya untuk
selain-Nya. Apabila dia telah lalai dari hal itu maka istighfar yang
diucapkannya bukanlah istighfar yang sebenarnya.” (Syarh Qawa’id Arba’)
Berdzikir dan Bersyukur
Allah ta’ala berfirman,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan
bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah [2]:
152)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“Dzikir kepada Allah ta’ala yang paling utama adalah dengan menyesuaikan
isi hati dengan dzikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang
dapat membuahkan pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan
pahala yang melimpah dari-Nya. Dzikir adalah bagian terpenting dari
syukur.
Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian
sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah
berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”
Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku
karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku
singkirkan sehingga tidak menimpa kalian….”
“Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai
macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik
untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah
adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang
sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih
tetap ada.
Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari
Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas
nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka.
Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka.
Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.”
“Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang
melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian
kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi
lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna
tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya
dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia
mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar
adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam
perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa
kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir Karimir Rahman,
hal. 74)
Adh Dhahak bin Qais mengatakan, “Ingatlah kepada Allah di saat
senang, niscaya Dia akan mengingat kalian di saat sulit.” (Jami’ul
‘Ulum, hal. 248) Ada lelaki berkata kepada Abud Darda’, “Berilah saya
wasiat.” Beliau menjawab, “Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya Allah
‘azza wa jalla akan mengingatmu di waktu susah.” (Jami’ul ‘Ulum, hal.
248)
Penopang Tegaknya Agama
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah
kitabnya yang penuh faedah yaitu Al Fawa’id, “Bangunan agama ini
ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian.
Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2]
: 152).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz, “Demi
Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk
membaca doa di setiap akhir shalat: ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa
syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku untuk
mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan
baik kepada-Mu).” (HR. An Nasa’i [1303] dalam pembahasan Sujud Sahwi,
Abu Dawud [1522] dalam pembahasan Shalat, dan Ahmad [21614] dari jalan
Abdurrahman Al Hubla dari Ash Shonabihi dari Mu’adz bin Jabal,
disahihkan Al Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud. (Tahqiq Al Fawa’id))
“Bukanlah yang dimaksud dengan dzikir di sini sekedar berdzikir
dengan lisan. Namun, dzikir dengan hati sekaligus dengan lisan.
Berdzikir/mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya
dengan membaca firman-firman-Nya.
Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah (pengenalan terhadap
Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada kesempurnaan dan
keagungan sifat-sifat-Nya.
Selain itu, ia akan membuahkan berbagai macam sanjungan yang tertuju
kepada-Nya. Sementara itu semua tidak akan sempurna apabila tidak
dilandasi dengan ketauhidan kepada-Nya. Maka dzikir yang hakiki pasti
akan melahirkan itu semuanya. Dan ia juga akan melahirkan kesadaran
mengingat berbagai macam kenikmatan, anugerah, serta perbuatan baik-Nya
kepada makhluk-Nya.”
“Adapun syukur adalah mengabdi kepada Allah dengan menaati-Nya,
mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya, baik yang
bersifat lahir ataupun batin. Dua perkara inilah simpul ajaran agama.
Mengingat-Nya akan melahirkan pengenalan (hamba) kepada-Nya.
Dan dalam bersyukur kepada-Nya terkandung ketaatan kepada-Nya. Kedua
perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, langit dan bumi
serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Lawan dari tujuan
ini adalah berupa kebatilan (kesia-siaan) dan main-main belaka. Allah
Maha tinggi dan Maha suci dari perbuatan semacam itu. Seperti itulah
anggapan buruk yang ada pada diri musuh-musuh-Nya.”
“Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya sia-sia,
itulah yang disangka oleh orang-orang kafir itu.” (Qs. Shad [38]: 27)
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya sekedar
bermain-main saja. Tidaklah Kami menciptakan keduanya kecuali dengan
tujuan yang benar.” (Qs. Ad Dukhan [44]: 38-39)
Allah juga berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan
tujuan yang benar, dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang.” (Qs.
Al Hijr [15]: 85)
Allah berfirman setelah menyebutkan tanda-tanda kebesaran-Nya di awal
surat Yunus yang artinya, “Tidaklah Allah menciptakan hal itu semua
kecuali dengan maksud yang benar.” (Qs. Yunus [10]: 5)
Allah berfirman yang artinya, “Apakah manusia mengira dia
ditinggalkan begitu saja.” (Qs. Al Qiyamah [75]: 36). Allah berfirman
pula yang artinya, “Apakah kalian mengira kalau Kami menciptakan kalian
hanya sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Qs. Al
Mu’minun [23]: 115)
Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptkan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat
[51]: 56)
Dalam ayat lainnya, “Allah lah yang menciptakan tujuh lapis langit
dan bumi seperti itu pula. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan
Allah ilmunya meliputi segala sesuatu.” (Qs. Ath Thalaq [65]: 12)
Allah berfirman yang artinya, “Allah menjadikan ka’bah yaitu baitul
haram sebagai kiblat sholat bagi umat manusia, demikian pula bulan
haram, hadyu dan qalaa’id. Itu semua agar kalian mengetahui allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan segala yang ada di
bumi, dan bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al
Maa-idah [5]: 97).”
“Maka dengan disebutkannya ayat-ayat tersebut telah terbukti
bahwasanya tujuan penciptaan dan perintah ialah agar Allah diingat dan
disyukuri. Sehingga Dia akan selalu diingat dan tidak dilupakan. Akan
selalu disyukuri dan tidak diingkari. Allah Yang Maha suci akan
mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan
berterima kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur
kepada-Nya.
Mengingat Allah adalah sebab Allah mengingat hamba. Dan bersyukur
kepada-Nya adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih
terfokus untuk kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam bentuk
rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur
itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan
muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.”
(Al Fawa’id, hal. 124-125)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
Yogyakarta, 9/1/1429
Abu Mushlih Al Jukjakarti
Semoga Allah mengampuninya, Kedua orang tuanya dan segenap kaum muslimin
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Al Jukjakarti
Atikel http://www.muslim.or.id
Atikel http://www.muslim.or.id